Peci [the history]
Ide untuk mencari sejarah tentang peci sebenernya telah muncul dibenakku saat Ramadhan kemaren aku pulang ke rumah, dan saat aku mau teraweh di masjid samping rumah, aku mencari-cari peciku yang lebaran tahun kemaren aku beli, tapi kok gak ketemu ya. Aku tanyakan ke ibu dan orang rumah juga pada gak tau, ah, kenapa pula peci di rumah harus ilang dan raib begitu saja, apa ada kiranya yang sudi ngembat barang itu. Nah, saat itu pula aku bertanya-tanya, sebenernya sejarah peci sendiri itu seperti apa sih, kok sampe-sampe tahun yang lalu waktu mau lebaran aku dimarahi oleh ayah gara-gara sholat taraweh gak pake peci, katanya itu simbol agamlah, simbol leluhur ato apalah semua keluar dari mulut ayahku dalam rangka menasehatiku bahwa peci itu penting khususnya untuk sholat.
Nah, dari pengalaman yang aku alami inilah aku akhirnya berkesempatan untuk Online dan mencari kembali apa yang dulu pernah aku pertanyakan kepada diriku sendiri, yaitu sejarah peci itu sepeerti apa sih, kok sampe-sampe ada pilem layar lebar dengan judul 3 cinta 2 dunia satu hati juga membahas soal pemeran utama yang gak mau pake peci gara-gara rambutnya yang terlanjur keribo itu.
Mereka, yang mendaku peci khas Betawi dan Betawi khas Islam,ternyata rabun sejarah masyarakat Betawi. Akar masyarakat Betawi mencakup berbagai suku di Nusantara. Mereka sengaja didatangkan oleh VOC di fajar kekuasaannya di Nusantara pada abad ke-17.
Di Batavia, masyarakat berbagai suku itu dipisahkan sesengit mungkin atas dasar warna kulit (ras), tempat lahir, dan status kerja terhadap VOC. Pemilahan berikutnya mencakup agama dan suku. Banyak sejarawan menduga di sinilah pangkal sentimen berbasis suku, ras, agama, dan golongan sosial.
Posting pertama judulnya adalah "Simbol Kebangsaan, Bukan Keagamaan" ini postingan dari blog tetangga yang punya nama Telengas di alamat blog telengas.multiply.com/
Seiring dengan pertumbuhan penduduk, sekat buatan VOC bobol di sana-sini. Pemeluk Kristen tidak melulu Eropa. Pemeluk Islam tidak melulu Bumiputra. Ada budak yang diseranikan dan dimerdekakan, lantas menjadi kelompok tersendiri yang disebut Mardjikders. Ada pendatang Tionghoa yang kawin-mawin dengan Bumiputra.
Silang-genetik disusul silang-budaya. Dari musik sampai pakaian adat Betawi sarat pembauran. Musik khas Betawi banyak dipengaruhi Portugis. Pakaian penganten Betawi mengambil tradisi Tionghoa. Bahasa yang dipakai masyarakat Betawi banyak menyerap Melayu-Pasar (Melayu Tionghoa). Jadi jangan heran bila melihat upacara gereja Kristen di Betawi memakai aksesoris Betawi. Upacara itu cuma kelanjutan tradisi yang pernah dirintis oleh leluhur mereka di awal pembentukan suku Betawi yang kosmopolis. Sungguh keliru menganggap Betawi identik dengan Islam.
Tapi penjelasan itu belum memadai untuk menggugurkan prasangka bahwa peci sebagai milik eksklusif agama. Untuk mengurus bagian ini mari kita mulai dengan logika dulu. Taruhlah pernyataan peci adalah atribut agama Islam benar adanya. Untuk memeriksa, maka penganut agama Islam semestinya mengenakan peci. Nyatanya tidak semua penganut agama Islam mengenakan peci. Turban boleh jadi lebih pas sebagai atribut agama karena dipakai oleh pemeluk Islam lintas-negara.
Pemakaian peci baru meluas di Indonesia pada awal abad ke-20, ketika naga-naganya pergerakan kemerdekaan Indonesia mulai merupa. Peci merupakan mode pakaian yang jadi simbol perlawanan terhadap penjajah. Para pemuda Indonesia, tidak peduli agama dan suku, mengenakan peci sebagai bentuk kesadaran sebagai satu bangsa jajahan. Perasaan ini terpelihara sampai seabad kemudian, di masa peci menjadi aksesoris resmi yang dipakai presiden dan para mentrinya.
Peci adalah simbol kebangsaan bukan keagamaan. Oleh karena itu barang siapa berusaha membabat peci dari simbol kebangsaan menjadi simbol keagamaan mencerminkan rendahnya pemahaman mereka terhadap kebangsaan Indonesia. [sumber tulisan]
Menurut tulisan lain dari forum sains.com aku temukan sebuah tulisan tentang sejarah peci dan indonesia seperti dibawah ini.
apa
yg terjadi dengan "peci"? Maksud saya "peci" hitam yg
umumnya dari beludru itu? Saya jadi ingat riwayat peci dan pergerakan nasional.
Dlm hal ini, Bung Karno memang pelopor. Dlm buku otobiografinya yg ditulis
Cindy Adams, Bung Karno bercerita bgm ia bertekad mengenakan peci sbg lambang
pergerakan. Di masa itu kaum cendekiawan pro-pergerakan nasional enggan memakai
blangkon, misalnya, tutup kepala tradisi Jawa. jika kita lihat gambar Wahidin
dan Cipto memakai blangkon, itu sebelum 1920-an. Ada sejarah politik dlm tutup
kepala ini. Di sekolah "dokter pribumi", STOVIA, pemerintah kolonial
punya aturan: siswa "inlander" (pribumi) tak boleh memakai baju
Eropa. Maka para siswa memakai blangkon dan sarung batik jika dari
"Jawa". Bagi yg datang dari Maluku atau Menado, misalnya, lain. Bagi
siswa asal Manado atau Maluku, yg biasanya beragama Kristen, boleh pakai
pakaian Eropa: pantalon, jas, dasi, Mungkin topi. Dari sejarah ini, tampak
usaha pemerintah kolonial utk membagi-bagi penduduk dari segi asal-usul "etnis"
dan "agama". Maka banyak aktivis pergerakan nasional menolak memakai
blangkon. Apalagi mereka umumnya bersemangat "kemajuan", modernisasi.
Jadi penolakan thd kostum tradisi mengandung penolakan thd politik kolonial
("divide et impera") dan penolakan thd adat lama. Lalu apa gantinya?
Utk pakai topi spt belanda-belanda itu akan terasa menjauhkan diri dari rakyat.
Juni 1921, Bung Karno menemukan solusi. Ia memilih pakai peci. Waktu itu ada pertemuan Jong Java di Surabaya. Bung Karno datang, dan ia memakai peci. Tapi ia sebenarnya takut diketawakan. Tapi ia berkata pd dirinya sendiri, kalau mau jadi pemimpin, bukan pengikut, harus berani memulai sesuatu yg baru. Waktu itu, menjelang rapat mulai, hari sudah agak gelap. Bung Karno berhenti sebentar. Ia bersembunyi di balik tukang sate. Setelah ragu sebentar, ia berkata kpd diri sendiri: "Hayo maju. Pakailah pecimu. Tarik napas yang dalam! Dan masuk SEKARANG!!!"
Lalu ia masuk ke ruang rapat. "Setiap orang memandang heran padaku tanpa kata‐kata", kata Bung Karno mengenangkan saat itu. Utk mengatasi kekikukan, Bung Karno bicara. "Kita memerlukan suatu lambang daripada kepribadian Indonesia." Peci, kata Bung Karno pula, "dipakai oleh pekerja2 dari bangsa Melayu". Dan itu "asli kepunyaan rakyat kita.
Menurut Bung Karno, kata "peci" berasal dari kata "pet" (topi) dan "je", kata Belanda utk mengesankan sifat kecil. Baik dari sejarah pemakaian dan penyebutan namanya, peci mencerminkan Indonesia: satu bangunan "inter-kultur" Maka tak mengherankan bila dari mana pun asalnya, agama apapun yg dianutnya, kaum pergerakan memakai peci.[sumber tulisan]
Juni 1921, Bung Karno menemukan solusi. Ia memilih pakai peci. Waktu itu ada pertemuan Jong Java di Surabaya. Bung Karno datang, dan ia memakai peci. Tapi ia sebenarnya takut diketawakan. Tapi ia berkata pd dirinya sendiri, kalau mau jadi pemimpin, bukan pengikut, harus berani memulai sesuatu yg baru. Waktu itu, menjelang rapat mulai, hari sudah agak gelap. Bung Karno berhenti sebentar. Ia bersembunyi di balik tukang sate. Setelah ragu sebentar, ia berkata kpd diri sendiri: "Hayo maju. Pakailah pecimu. Tarik napas yang dalam! Dan masuk SEKARANG!!!"
Lalu ia masuk ke ruang rapat. "Setiap orang memandang heran padaku tanpa kata‐kata", kata Bung Karno mengenangkan saat itu. Utk mengatasi kekikukan, Bung Karno bicara. "Kita memerlukan suatu lambang daripada kepribadian Indonesia." Peci, kata Bung Karno pula, "dipakai oleh pekerja2 dari bangsa Melayu". Dan itu "asli kepunyaan rakyat kita.
Menurut Bung Karno, kata "peci" berasal dari kata "pet" (topi) dan "je", kata Belanda utk mengesankan sifat kecil. Baik dari sejarah pemakaian dan penyebutan namanya, peci mencerminkan Indonesia: satu bangunan "inter-kultur" Maka tak mengherankan bila dari mana pun asalnya, agama apapun yg dianutnya, kaum pergerakan memakai peci.[sumber tulisan]
Jadi, setelah berkeliling di dunia maya dan mencari tahu fenomena soal peci, maka saya dapat mengambil kesimpulan bawah sesungguhnya peci itu bukanlah sebuah simbol agama, tapi merupakan simbol budaya dari bangsa Indonesia khususnya dan bangsa Melayu pada umumnya.